LOMBOK - Jarum jam menunjukkan pukul 14.30 WIT, ketika Energia tiba di salah satu posko pengungsian korban gempa Lombok, yang berada di Dusun Terengan, Kecamatan Pemenang Timur, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, Rabu (15/8/2018). Barisan tenda darurat yang diperuntukkan bagi para pengungsi korban gempa terlihat memadati setiap jengkal dusun yang terletak di kaki Gunung Rinjani tersebut.
Hal ini terpaksa dilakukan lantaran rumah milik warga setempat rata dengan tanah setelah gempa berkekuatan 7 skalarichter memporakporandakan seluruh bangunan tanpa tersisa. Tidak hanya kehilangan tempat tinggal, musibah yang terjadi pada Minggu (5/8) malam ini, juga meninggalkan rasa traumatik tersendiri bagi seluruh warga Lombok.
Ditemani secangkir kopi panas, salah satu warga, Abdul Basit (42) mulai berkisah tentang apa yang terjadi di malam kelabu itu. Baginya, gempa tersebut adalah perisitiwa alam terbesar yang ia alami selama hidupnya. "Ngeri mas. Selama ini belum ada (gempa) sebesar itu," bebernya.
Ia mengatakan bahwa malam itu gempa seakan terjadi terus menerus hingga menyebabkan warga berlarian dan berteriak ketakutan untuk mencari tempat berlindung. Bahkan ia mengaku nyaris kehilangan salah satu anaknya yang masih kecil.
Tak heran jika pria yang bekerja sebagai buruh serabutan ini terlihat seperti trauma jika diminta untuk menceritakan kembali apa yang terjadi. "Pas gempa, anak saya ada yang justru lari masuk rumah. Langsung saya kejar, saya cuma mikir, kalau anak saya mati, biar saya juga mati," ungkapnya.
Beruntung, hal ini tak berlangsung lama. Hadirnya bantuan dari Pertamina yang terus mengalir kepada para korban seakan menyadarkan bahwa mereka tidak sendiri dalam menghadapi musibah yang datang. Tidak hanya materil, dukungan moril pun berdatangan silih berganti untuk saling menguatkan satu sama lain.
Satu di antara bantuan yang diberikan Pertamina adalah pendampingan melalui seorang psikolog yang didatangkan oleh PT Pertamina Bina Medika (Pertamedika) IHC ke posko pengungsian. Dengan cara pembekalan psikologi sosial, para korban seakan diberikan suntikan semangat agar kuat menghadapi ujian yang datang.
Psikolog A.R.S.R.Irene Sirait menjelaskan, psikologi sosial merupakan proses bagian dari menghidupkan lagi aktivitas-aktivitas sosial yang biasa dilakukan sebelum terjadinya bencana. Sehingga dengan mengulang kembali aktivitas sosial tersebut, akan menjadi bagian dari proses perbaikan trauma yang telah terjadi.
"Proses psiko-sosial ini mencakup seluruh aspek kehidupan, sosial dan pendidikan. Bukan hanya pendidikan akademis tapi juga pendidikan nilai-nilai luhur, juga berkaitan dengan nilai spiritual. Saya sangat percaya, bencana tidak akan menghentikan kehidupan manusia. Tapi bagaimana kita bisa membangkitkan kembali aktivitas yang biasa dilakukan sebelumnya, tentau akan membantu korban bencana pulih dari trauma. Cara ini bisa dilakukan ke semua usia, dari anak-anak hingga orang tua," jelas wanita yang sudah menjalani profesi sebagai psikolog lebih dari 20 tahun tersebut.
Berdasarkan pengalaman di beberapa negara, lanjut Irene, psikologi sosial dinilai efektif mengatasi trauma yang disebabkan adanya bencana alam dan memberikan efek dalam jangka panjang.
Lebih lanjut Irene berharap agar seluruh masyarakat, baik korban terdampak langsung ataupun para relawan bisa bekerja sama untuk menjadi sumber semangat baru untuk lekas pulih dari trauma yang dialami.
"Saya tidak akan di sini selamanya, yang selamanya di sini adalah masyarakat terdampak. Yang saya lakukan adalah berbagi pengetahuan, memberikan contoh sehingga mereka yang akan melanjutkan. Jadi proses pemulihan itu sendiri akan terus berkelanjutan sehingga diharapkan untuk bisa lebih cepat pulih dari traumanya," tutup Irene.
Bak gayung bersambut, warga yang semula pesimis atas upaya yang dilakukan Irene, justru berbalik 360 derajat. Menurut Abdul Basit, pasca dilakukan pendampingan psikologi sosial, para warga terutama anak-anak yang sempat mengalami trauma, saat ini berangsur-angsur pulih.
"Alhamdulillah saya lihat anak-anak ada perubahan. Traumanya bisa reda karena ada ibu guru yang membantu mengajar anak-anak ini. Kami bersyukur. Sebelum ada ini, anak-anak masih trauma, gak berani kemana mana. Bermain gak berani, maunya digendong saja. Sekarang ada perubahan, anak-anak ceria dan gembira," sambung Abdul Basit.
Tak berbeda dengan Abdul Basit, Nur Hidayah (14) dan Lili Irmayanti (16) salah seorang peserta pun merasakan hal serupa. Menurutnya, pembekalan psikologi sosial sangat membantu ia bersama puluhan pengungsi anak lainnya dalam memperoleh akses pendidikan formal dan informal.
"Alhamdulillah senang. Kami berharap semoga ini bisa terus berlanjut. Kita bisa melanjutkan amanah Kak Irene menyemangati adik-adik untuk belajar. Semoga adik-adik bisa belajar lebih giat walaupun dari posko pengungsian. Kita harus belajar lebih giat lagi," tukas Lili.•SEPTIAN/ft. TRISNO