BANGKALAN, JAWA TIMUR – PT Pertamina Hulu Energi West Madura Offshore (PHE WMO), bagian dari Zona 11 Regional Indonesia Timur, Subholding Upstream Pertamina mengimplementasikan inovasi sosial program eco-edufarming, yakni program mengaplikasikan pertanian regeneratif berbasis teknologi tepat guna sebagai upaya rehabilitasi lahan kritis di Desa Bandangdaja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Kawasan pesisir biasanya memiliki kandungan bahan organik yang rendah dan struktur tanah yang kurang baik, sehingga kurang mampu mendukung pertumbuhan tanaman. Secara sosial, perlunya peningkatan kapasitas masyarakat di pesisir dalam mengoptimalkan SDA khususnya lahan kering yang selama ini tidak termanfaatkan.
Demikian halnya yang terjadi di warga Desa Bandangdajah, Kecamatan Tanjungbumi, Kabuapaten Bangkalan. Masyarakat desa lebih memilih merantau karena lebih menjanjikan, padahal terdapat potensi air tanah untuk pertanian holtikultura yang belum termanfaatkan secara optimal.
“Program ini merupakan bagian dari rencana besar PHE WMO kepada masyarakat di wilayah pesisir utara Kabupaten Bangkalan yang kami sebut One Belt One Road (OBOR). Kami ingin masyarakat Bangkalan menjadi masyarakat sejahtera, melalui program yang fokus pada aspek lingkungan, pendidikan, ekonomi, dan sosial,” ujar Manager WMO Field, M Basuki Rakhmad.
Dalam menjalankan konsep OBOR ini, PHE WMO memiliki program yang berbeda di masing-masing wilayah program, menyesuaikan dengan kebutuhan dan potensi masyarakat setempat. Beberapa program besar yang telah dikembangkan PHE WMO, di antaranya Pelestarian Hutan Mangrove mulai 2014 -2020, Pemberdayaan Nelayan mulai 2018-2021, Program Salt Centre Terintegrasi sejak 2018-2023 serta Petani Holtikultura di tahun ini.
Eco-edufarming Bandangdaja berawal dari program Himpunan Pemakai Air Minum (Hippam) “Sumber Barokah” yang sejak 2007 mengalirkan air bersih ke rumah 400 kepala Keluarga (KK) di tiga desa yang terdapat di Kecamatan Tanjung Bumi, yaitu Bandangdaja, Tanjung Bumi, dan Telaga Biru. Warga di tiga desa itu kesulitan mendapatkan air bersih. Bahkan mereka harus menempuh jarak 3 km dan berjalan selama 1 jam untuk mendapatkan air.
Karena itu, PHE WMO memberikan bantuan pompa air kepada Hippam Sumber Barokah, Dusun Dangka Raya, Desa Bandangdaja, Kecamatan Tanjung Bumi. Penguatan kelembagaan kelompok ini juga difasilitasi PHE WMO dengan membentuk Hippam Sumber Barokah. Dalam penggunaan air bawah tanah tersebut, PHE WMO memastikan cadangan air di Bandangdaja masih cukup dengan melakukan studi cadangan air.
Berdasarkan hasil studi, cadangan air tanah du wilayah tersebut mencapai 51juta m3 per tahun dengan potensi penggunaan untuk dapat digunakan dalam kegiatan domestik dan usaha lainnya mencapai 6,6 juta m3 per tahun. Artinya, cadangan air di Desa Bandangdaja masih surplus mencapai 44 juta m3 per tahun.
Cadangan air yang besar di Desa Bandangdaja ini dikarenakan Desa Bandangdaja masuk ke dalam aliranc Cadangan Air Tanah (CAT) Ketapang-Bangkalan. Pengelolaan Hippam Sumber Barokah tidak hanya dikembangkan untuk kegiatan domestik, tetapi juga sudah dikembangkan untuk kegiatan usaha bagi masyarakat setempat, baik itu untuk olahan makanan hingga usaha air galon isi ulang.
PHE WMO mulai melakukan pemetaan potensi maupun tantangannya. Mulai dari Pemetaan Lahan Pertanian, Memahami Kondisi Lahan Kering serta tanaman yang bisa tumbuh dipermukaan tanah kering hingga menentukan 8 titik sumber air yang bisa digunakan. Melalui berbagai macam pemetaan lingkungan dan demografi masyarakat ditetapkanlah aplikasi model pertanian tahun ini adalah daftar duta e32 w11 w11regeneratif berbasis teknologi tepat guna sebagai upaya rehabilitasi lahan kritis di bandangdaja.
Pengelolaan program ini dilakukan bersama dengan Kelompok Tani Bumi Sentosa Sejahtera sebanyak 15 orang dengan memanfaatkan 1ha area demplot pertanian atau kebun percontohan. Sebagai upaya memanfaatkan sumber air untuk pertanian secara bijak dilakukanlah instalasi sistem irigasi tetes dan pengolahan lahan menggunakan serabut kelapa untuk membantu penghematan air. Serabut kelapa ini sebelumnya dibuang dan dibakar, tetapi sekarang menjadi media tanam sehingga air tidak merembes dan tidak menguap.
Selain pengolahan lahannya, dalam proses perawatan tanaman, kelompok juga melakukannya secara organik. Desa Bandangdaja yang hampir 80% penduduknya memiliki hewan ternak memiliki masalah banyaknya kotoran hewan yang tidak dioptimalkan sehingga menjadi pencemaran udara. Selanjutnya PHE WMO melakukan kegiatan pelatihan kepada kelompok untuk membuat produk penunjang pertanian dari limbah mulai dari kompos, pupuk organic cair (POC) dan mikroorganisme lokal (MOL). Dengan adanya produk penunjang pertanian mampu mencegah atau mengurangi potensi gagal panen.
Adapun tanaman yang dibudidayakan, di antaranya cabe colombus, bunga kol, tomat, sawi, semangka, blewah, serta melon. Budi daya melon juga dilakukan dengan sistem Machida, 1 tanaman bisa menghasilkan hingga 15-20 buah.
Selain itu, terdapat teknologi yang diterapkan untuk menunjang pertanian di Eco Edufarming Bandangdaja, yakni rain harvesting (pemanenan air hujan). Ini merupakan metode untuk mengumpulkan dan menyimpan air hujan yang berasal dari atap bangunan atau permukaan lain dan juga dari embun. Selain itu terdapat atmosfering rain harvesting dimana metode untuk mengumpulkan air dari kelembapan suhu suatu permukaan.
Tidak hanya itu, terdapat juga teknologi Soil Nutrient Sensor untuk mengetahui unsur kesuburan tanah sehingga dapat diketahui treatment yang sesuai dengan unsur tanah tersebut. Serta teknologi energi terbarukan untuk mendorong kinerja pompa air yang digunakan untuk irigasi pertanian.
“Kini berkat suksesnya program Eco Edufarming Bandangdajah membuat Desa Bandangdaja dan enam desa sekitar bisa mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan sehat dan organic, tentunya dengan harga yang bersaing,” kata Ketua Kelompok Tani Bumi Sentosa Sejahtera Achmad Marnawi.*SHU-PHE WMO