YOGYAKARTA -- Yogyakarta sebagai salah satu pusat kota pendidikan di Indonesia menjadi salah satu lokasi yang dipilih oleh PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) untuk melaksanakan salah satu rangkaian kegiatan ulang tahun PGE yang ke-13. Di Joint Convention Yogyakarta (JCY) 2019, PGE bersama dengan HAGI, IAGI, IAFMI dan IATMI mempersembahkan salah satu panel diskusi bertema “Geothermal : Beyond Energy”, (26/11). Hadir sebagai panelis, yaitu Ida Nuryatin Finahari, Direktur Panas Bumi EBTKE ESDM, Ali Mundakir, Direktur Utama PGE, Anif Punto Utomo, jurnalis dan penulis buku, Muchsin Chasani Abdul Qadir, World Bank.
Dalam pemaparannya yang diberi judul Accelerating Geothermal Development in Indonesia, Ida Nuryatin Finahari menjelaskan bahwa pemerintah berkomitmen untuk menurunkan emisi yang dibuktikan dengan komitmen Pemerintah dalam Paris Agreement pada COP 21 di Paris yang kemudian diratifikasi melalui UU No. 16 Tahn 2016.
“Dalam Kebijakan Energi Nasional, Pemerintah mentargetkan pada tahun 2025 Energi Baru Terbarukan dapat berkontribusi sebesar 23% dari bauran energi dimana 13% merupakan pembangkitan energi untuk listrik dan 3% nya ditargetkan dari panas bumi” tegas Ida. “Dengan berbagai keunggulan dan tantangan dari geotermal, Pemerintah mentargetkan di tahun 2030 kapasitas terpasang panas bumi di Indonesia dapat mencapai 10.000 MW,” tambah Ida.
Seperti telah diketahui bersama bahwa energi panas bumi merupakan energi energi yang sustainable, emisi karbonnya sangat rendah (hampir tidak ada), dapat diandalkan sebagai base load, dan mempunyai dampak yang positif bagi perekonomian nasional.
“Energi panas bumi merupakan anugerah yang diberikan oleh Tuhan bagi bangsa Indonesia dan melimpah. Baik mau digunakan atau tidak, faktanya energi panas bumi sudah dan akan selalu ada di Indonesia sehingga sangat disayangkan bila kita tidak memanfaatkan secara optimal," tambah Ali Mundakir dalam pengantar pemaparannya yang berjudul Geothermal : Beyond Energy.
Ali juga menegaskan bahwa Pertamina secara konsisten berkomitmen melakukan penambahan kapasitas terpasang panas bumi setiap tahun, dengan komitmen investasi sebesar 2,68 miliar dollar. “Panas bumi tidak hanya tentang pengembangan energi saja, tetapi ada multiplier effect dari pengembangan energi panas bumi diantaranya optimasi domestic natural energy resources yang dapat berdampak penghematan devisa negara, penurunan emisi karbon, pembangunan daerah melalui peningkatan infrastruktur, serta peningkatan pendidikan dan hubungan luar negeri yang dapat berdampak pada peningkatan sumber daya manusia dan transfer pengetahuan serta teknologi,” terang Ali.
“Bayangkan, dengan kapasitas terpasang panas bumi Indonesia saat ini berpotensi melakukan penghematan devisa negara dapat mencapai 2 miliar dollar per tahun dan pengurangan emisi karbon sebesar 10 juta ton CO2 per tahun” tambah Ali.
Selain itu rangkaian pembangunan infstruktur dalam rangka pengembangan panas bumi nyatanya dapat bermanfaat bagi pengembang dan masyarakat sekitar dalam meningkatkan aksesibilitas yang berdampak pada peningkatan perekonomian dan pertumbuhan.
Infrastruktur yang memadai, secara kuantitas maupun kualitas, merupakan prasyarat yang mutlak bagi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pembangunan infrastruktur juga diperlukan untuk mewujudkan pemerataan, menurunkan tingkat kemiskinan dan meningkatkan kualitas hidup.
“Sebelum ada peningkatan infrastruktur di wilayah Ngarip, Ulubelu, Lampung, masyarakat akan membutuhkan waktu sampai dengan 10 jam untuk melakukan perjalanan menggunakan mobil dan motor menuju Kota Bandar Lampung. Saat ini semenjak adanya peningkatan infrastruktur maka hanya membutuhkan waktu 3 jam saja,” jelas Anif Punto.
“Secara finansial, daerah setempat juga akan mendapatkan keuntungan finansial dalam bentuk bonus produksi dan dana bagi hasil” tegas Anif. “Selain itu misalnya saja Lahendong, Sulawesi Utara sebelum adanya PLTP, disana ada giliran hidup listrik, bukan giliran mati listrik, tapi setelah adanya PLTP maka kebutuhan listrik dapat lumayan terpenuhi” sambung Anif.
Tantangan yang saat ini dihadapi adalah bahwa tidak bisa dipungkiri bahwa Pemerintah masih fokus kepada sumber energi yang lebih murah dari panas bumi. “Hanya saja Pemerintah perlu menyadari bahwa energi yang murah saat ini berpotensi menimbulkan permasalahan lingkungan khususnya polusi pada masa-masa mendatang,” jelas Muchsin.
“Sementara panas bumi merupakan energi bersih dan lebih dapat diandalkan menjadi base load dibanding EBT lainnya yang cenderung bersifat intermittent,” sambung Muchsin.
“Ke depan, pengembangan pemanfaatan langsung panas bumi (direct use) juga berpotensi untuk dikembangkan dalam skala industri,” tutup Muchsin.
Dalam kesempatan tersebut juga dilakukan launching dan bagi-bagi 200 buku PGE yaitu ”Geothermal : Beyond Energy” yang ditulis oleh Anif Punto Utomo yang secara detail mengupas terkait dengan externalititas dari pengembangan panas bumi khususnya di wilayah kerja yang dikelola oleh PGE.
Para peserta seminar juga tampak antusias untuk mengetahui lebih dalam terkait dengan pengembangan panas bumi di Indonesia dengan mengkritisi terkait beberapa hal seperti skema tarif yang perlu dikaji untuk percepatan pengembangan panas bumi di Indonesia dan pelurusan persepsi yang tidak tepat dalam pelaksanaan kegiatan panas bumi.
Saat ini Indonesia dengan kapasitas terpasang panas bumi sebesar 2047 MW merupakan produsen energi panas bumi terbesar kedua di dunia, dan sebesar 92% dihasilkan dari wilayah kerja PGE, yang terdiri dari 672 MW Own Operation dan 1205 MW Joint Operation Contract (JOC).*PGE