JAKARTA - PT Pertamina International Shipping (PIS) mengungkapkan sejumlah strategi utama untuk mengatasi tantangan disrupsi rantai pasok energi, mulai dari perkembangan teknologi hingga ketegangan geopolitik global. Penjelasan tersebut disampaikan oleh CEO PIS Yoki Firnandi, dalam konferensi Abu Dhabi International Petroleum Exhibition & Conference (ADIPEC) 2024, yang berlangsung di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, pada pekan lalu.
“Saat ini, industri pelayaran menghadapi tiga tantangan utama: ketegangan geopolitik akibat perang di Ukraina dan Timur Tengah, perang tarif antara Amerika Serikat dan China, serta dampak perubahan iklim. Sebagai perusahaan yang bergerak di sektor maritim, PIS sangat memahami dampak negatif dari ketegangan-ketegangan tersebut. Kami merasakan urgensi untuk terus beradaptasi di tengah situasi yang semakin tidak menentu,” ujar Yoki, yang menjadi salah satu pembicara di forum CEO ADIPEC bertajuk "Winds of Change in Global Trade and The Role of Shipping for Economic Stability".
Ketegangan yang timbul akibat agresi militer Rusia telah memberikan dampak besar terhadap rantai pasokan energi global. Sebagai respon, negara-negara Uni Eropa menerapkan kebijakan yang membatasi pergerakan kapal-kapal Rusia. Kebijakan ini menyebabkan lonjakan signifikan dalam aktivitas kapal gelap (ghost ships), yaitu kapal yang beroperasi dengan mematikan sistem AIS (Automatic Identification System), yang mempersulit pihak berwenang untuk mengidentifikasi keberadaan kapal tersebut. Hal ini tentunya meningkatkan risiko kecelakaan di perairan internasional.
“PIS secara rutin melakukan berbagai sistem verifikasi untuk memastikan kami mengetahui dengan jelas latar belakang kapal yang kami sewa dari pihak ketiga. Dalam proses pengadaan kapal charter , kami memeriksa riwayat kepemilikan kapal, termasuk sejarah operasional dan reputasi pemilik kargo. PIS juga secara berkala memantau potensi risiko yang ada serta langkah-langkah mitigasi yang perlu diambil untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan,” tambah Yoki.
Untuk menghadapi tantangan yang juga semakin beragam, Yoki menjabarkan bahwa PIS telah mengoptimalkan digitalisasi serta menggunakan berbagai teknologi mutakhir seperti artificial intelligence (AI) yang memungkinkan pengawasan secara real-time dan akurat terhadap kapal-kapal PIS saat berlayar di daerah rawan.
PIS juga menggalakkan upaya diversifikasi rute, khususnya di negara-negara Afrika dan Eropa. Untuk memuluskan upaya tersebut, saat ini PIS telah memiliki tiga kantor perwakilan di Singapura (PIS Asia Pacific), Dubai (PIS Middle East), dan London (PIS Europe). Letak ketiga kantor perwakilan yang berada di titik-titik strategis diharapkan dapat meningkatkan jaringan dan rute internasional PIS. Sebagai informasi, PIS baru saja membuka rute baru ke negara-negara baltik. Hingga saat ini, PIS telah berlayar ke 65 rute internasional.
Selain melalui diversifikasi rute, PIS juga tengah meningkatkan presentasi kargo hijau dalam keseluruhan operasi bisnisnya. Bahkan, PIS menargetkan peningkatan pendapatan bisnis hijau ke angka 34% terhadap keseluruhan pendapatan perusahaan. Strategi PIS untuk meningkatkan kontribusi bisnis hijau adalah melalui pasar bahan bakar hijau, yakni LNG, LPG, dan Amonia.
Dalam menghadapi tantangan perubahan iklim, PIS memiliki target untuk menurunkan tingkat CO2 yang dihasilkan dari operasional perusahaan hingga 32% pada 2034. Untuk mendukung realisasi target tersebut, Yoki menyatakan bahwa PIS telah melakukan sejumlah inovasi khusus untuk mengurangi produksi emisi karbon dalam seluruh lini bisnisnya. Seperti pengembangan teknologi energy saving devices , pengembangan desain kapal yang ramah lingkungan, dan teknologi dual-fuel yang meningkatkan efisiensi konsumsi bahan bakar kapal hingga 30%.
Dalam penutupnya, Yoki menegaskan pentingnya kolaborasi antar pihak dalam menghadapi ketidakpastian geopolitik serta ekonomi yang memiliki dampak negatif terhadap masa depan industri maritim.
“Kami sadar betul di era globalisasi yang semakin terhubung seperti saat ini, PIS tidak bisa menghadapi berbagai tantangan tersebut sendirian. Kami melihat pentingnya kolaborasi antar pemangku kepentingan baik dari sisi regulator maupun pelaku industri untuk duduk bersama dan bekerjasama bahu-membahu untuk mencari solusi terbaik, tidak hanya bagi masa depan industri shipping, tetapi juga bagi kesejahteraan masyarakat dunia,” tutup Yoki.*SHIML