JAKARTA - Pengamat energi Indonesia telah memprediksi habisnya energi fosil untuk beberapa puluh tahun kedepan. Hal itu dibuktikan dari penurunan produksi minyak mentah yang dikelola oleh Pertamina (Persero) selaku perusahaan minyak dan gas nasional.
SVP Strategy & Invesment Pertamina Daniel S. Purba mengatakan, publik telah mengetahui bahwa produksi minyak mentah di Indonesia mengalami kemerosotan. Itu menjadi fenomena yang natural, namun Pertamina saat ini tengah gencar mencari sumber-sumber Energi Baru Terbarukan (EBT) untuk mengantisipasi habisnya energi fosil.
“Mudah-mudahaan dalam beberapa tahun ke depan kami bisa menemukan cadangan minyak baru lagi atau menemukan teknologi sehingga declining bisa ditahan atau bisa ditingkatkan produksinya. Pertamina sudah mengantisipasi situasi sekarang,” ujarnya saat menjadi pembicara dalam acara Tempo Energy Day 2020 melalui virtual, pada Rabu, 21 Oktober 2020.
Beberapa langkah antisipasi yang ditempuh Pertamina dengan memanfaatkan tanaman sawit yang tersebar luas di Indonesia untuk dijadikan biofuels.
“Biofuels sudah kami manfaatkan, ke depan teknologi yang available sudah dipelajari dan akan membangun green refinery yang memproses CPO menjadi bahan bakar minyak dan bisa juga LPG. Kami maksimalkan sumber daya yang ada. Kami sudah punya solar sawit, tentu ke depan hilirisasi batu bara, gasifikasi batu bara untuk bisa memproduksi DME menggantikan LPG dan metanol untuk campuran bahan bakar minyak gasoline,” katanya.
Sementara, Pengamat Ekonomi Energi UGM Fahmi Radhi mengatakan, kecenderungan produksi minyak mentah yang terus menurun membuat masa depan energi fosil akan suram. Mau tidak mau Indonesia harus lebih cepat berlari kencang mencari serta memanfaatkan berbagai sumber untuk EBT.
“Krisis energi akan terjadi kalau tidak segera beralih ke EBT. Seperti yang dikelola Pertamina misalnya di Blok Mahakam, pada saat diserahkan ke Pertamina produksinya terus menurun, begitupun beberapa blok yang lain,” ujarnya.
Ia juga menambahkan pengembangan EBT menjadi kepentingan nasional bersama. Sehingga dibutuhkan adanya sinergi antar departemen yang menaungi. Jika Indonesia menerapkan EBT dengan baik, maka energi tersebut bukan hanya untuk pemakaian sendiri namun bisa diekspor karena memiliki potensi besar.
“Karena kepentingan bersama, semua departemen harus bertanggung jawab dan tidak boleh ada ego sektoral. Sebab jika tidak ada koordinasi yang baik, maka tax insentif susah diberikan. Kalau tidak ada tax insentif, maka biayanya akan tinggi. Saya yakin jika itu dilakukan, bukan hanya untuk pemakaian sendiri bahkan bisa diekspor,” tutupnya. *IDK/Foto: PW/HM