JAKARTA - Seluruh sektor saat ini mengalami guncangan dahsyat akibat pandemi COVID-19. Termasuk Pertamina, perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu tengah mengalami triple shocks.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menjelaskan bahwa ada tiga hal guncangan (triple shock) yang dialami Pertamina semasa wabah ini. Pertama, penurunan penjualan secara signifikan sebesar 25 persen secara nasional.
“Sampai hari kemarin penurunan kita hampir mencapai 25 persen. Apalagi di kota-kota yang menerapkan PSBB penurunannya bisa sampai 50 persen, seperti di DKI Jakarta, kemudian Bandung, Surabaya, Makassar, dan Medan menurunnya luar biasa," ujarnya saat Rapat Dengar Pendapat bersama DPR RI Komisi VII, pada Senin, 29 Juni 2020.
Kedua, arus kas operasi perseroan dipengaruhi dari fluktuasi nilai tukar rupiah. Nicke mengatakan perseroan telah membuat skenario berat dan sangat berat berkaitan dengan pengaruh nilai tukar rupiah terhadap pendapatan perseroan.
“Skenario berat kami asumsikan nilai tukar rupiah sebesar Rp 17.500 per dolar Amerika Serikat (AS) yang diperkirakan menekan pendapatan perseroan hingga 45 persen. Sedangkan skenario sangat berat diasumsikan Rp 20.000 per dolar AS dan pendapatan perseroan turun hingga 55 persen,” katanya.
Ketiga, arus kas perseroan dipengaruhi fluktuasi harga minyak dunia. Saat ini harga minyak mentah global sangat fluktuatif akibat anjloknya permintaan di tengah COVID-19. Namun, harga minyak mentah global berangsur membaik setelah OPEC+ memangkas produksinya.
“Kita asumsikan kemarin ICP (Indonesia Crude Price) itu 38 USD per barel, namun saat ini sudah merambat naik dan ternyata sekarang pun secara global ada ketidakpastian penetapan harga minyak. Bagi Pertamina ini tentu saja dampaknya luar biasa baik dari sisi bisnis hulu maupun sisi hilir,” tutupnya.
Pada lain kesempatan, Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bidang Sinergi Ekonomi dan Pembiayaan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Amalia Adininggar Widyasanti menyampaikan bahwa perusahaan harus bersiap menghadapi fluktuasi harga migas.
"Perusahaan harus melakukan penyesuaian dan transformasi. Kuncinya adalah fleksibel dan adaptif dalam menjalankan rutinitas bisnisnya," jelas Winny.
Dirinya menambahkan, perusahaan harus mempercepat perubahan budaya kerja baru, automasi dan digitalisasi.
"Untuk itu perusahaan harus investasi di bidang teknologi informasi untuk mengurangi resiko selama wabah COVID-19. Perusahaan dapat belajar meneruskan perubahan yang meningkatkan produktifitas dan fleksibilitas," tambahnya.
"Satu lagi yang menjadi perhatian yakni industri petrokimia untuk menciptakan nilai tambah ekonomi yang lebih besar, mengingat impor akan kebutuhan bahan kimia cukup besar," terangnya.