Jakarta, 25 November 2020 – Pembinaan dan pendampingan UMKM oleh PT Pertamina (Persero) melalui Program Kemitraan dilakukan merata hampir di seluruh wilayah Indonesia. Tak terkecuali wilayah Timur Indonesia, tanah Papua. Selain kekayaan sumber daya alam, salah satu potensi besar yang dimiliki adalah perkembangan dunia fashion, terutama batik Papua.
Salah satu mitra binaan Pertamina yang sudah lama berkecimpung di dunia tersebut adalah Kristina Ifaryani. Pemilik usaha Citra Batik Papua ini memulai usahanya sejak tahun 1993. “Saat itu hanya menjualkan batik produk saudara dengan keuntungan 5%. Setelah modal terkumpul, akhirnya tahun 1997 mulai membuka usaha sendiri,” jelasnya.
Wanita yang akrab disapa Yani ini memusatkan produksi batiknya di Pekalongan, Jawa Tengah daerah asalnya. Namun, untuk proses desain dan pemasaran seluruhnya di pusatkan di Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua. Di sana, Yani sudah memilik dua toko dengan nama Citra Batik Jayapura.
Lalu, apa yang membedakan batik Papua dengan batik dari daerah lain? Yani menjelaskan, perbedaan utama terletak dari motifnya. Beda dengan batik dari daerah lain, batik Papua banyak didominasi motif-motif burung Cendrawasih dan rumah Honai, rumah adat Papua. Tidak ketinggalan juga motif dengan gambar alat musik khas Papua, Tifa dan binatang seperti kadal dan buaya.
Meski bukan asli orang Papua, Yani melihat peluangnya sangat besar karena pemainnya masih sedikit. Selama mengibarkan batik Papua, Yani banyak membidik konsumen kelas menengah atas dan pasar mancanegara. “Di pasar luar negeri banyak yang mencari,” katanya. Kebanyakan konsumen mencari batik ini untuk menambah koleksi kain tradisional khas Indonesia.
Yani fokus memproduksi batik tulis dan batik cap. Selain dalam bentuk lembaran kain, ia juga memproduksi batik menjadi pakaian jadi, seperti kemeja, dress, rok, dan kain pantai. Kapasitas produksi per bulan biasanya 500 pieces pakaian jadi dan lebih dari 10 kain batik tulis ukuran dua meter. Harganya dibanderol mulai Rp 250 ribu hingga Rp 2 juta per helai. Dalam sebulan, Yanti bisa meraup omzet hingga Rp 100 juta.
Dalam menjalankan bisnisnya, Yani juga menerapkan usaha berbasis sociopreneur. Di mana ia banyak memberdayakan warga sekitar tempat produksi untuk ikut membantu. Di Pekalongan sendiri, ia banyak memberdayakan ibu rumah tangga untuk membatik. Dan di Jayapura juga terdapat beberapa pegawai warga lokal ikut membantu operasional toko.
Salah satu hasil pembinaan Pertamina yang efektif digunakan untuk memasarkan produk-produknya adalah pembinaan Go Digital. Di mana, ia memanfaatkan sejumlah platform digital baik media sosial maupun marketplace untuk memasarkan produk. Masyarakat bisa melihat beberapa katalog produknya melalui media sosial @citra_batik_papua.
Sejak menjadi mitra binaan Pertamina pada tahun 2012, Yani merasakan perubahan yang signifikan terhadap usahanya. “Kami dapat tambahan wawasan berbagi sesama mitra binaan. Sehingga menambah relasi pengrajin-pengrajin batik se-Indonesia. Selain itu juga mendapat kesempatan pameran di dalam negeri dan luar negeri hingga Australia,” jelasnya.
Pjs Vice President Corporate Communication Pertamina Heppy Wulansari mengapresiasi langkah yang dilakukan Kristina Ifaryani. Menurutnya, peran dalam pelestarian kebudayaan Indonesia harus ditiru oleh semua orang. ”Apalagi batik, sebagai warisan budaya dunia dari Indonesia, kita wajib untuk menjaga dan melestarikannya,” ujarnya.
Pertamina dalam usianya yang semakin matang menuju 63 tahun, lanjut Heppy, akan terus mendukung pelestarian budaya batik selain secara langsung, juga memfasilitasi para perajin baik agar lebih berkembang dan unggul. ”Ini sebagai implementasi Goal 8 Sustainable Development Goals (SDGs). Diharapkan dapat membantu masyarakat mendapat pekerjaan yang layak dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional,” tutup Heppy.