Bali, 12 November 2022 – Task Force Energy, Sustainability & Climate (ESC) - B20 terus memainkan peran sebagai katalisator transisi energi untuk mewujudkan Net Zero Emission (NZE). Lebih dari 7 juta orang meninggal dunia karena polusi udara, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) selalu mencatatnya sebagai peringatan. Oksigen alami asupan paru-paru penopang kehidupan harus terpapar berbagai partikel halus yang tersebar di udara. Bahkan sebagai penduduk Bumi, 91 persen populasi dunia telah menghirup udara yang tidak sehat.
Bagaimana bisa terjadi? Polusi udara, adalah jawaban yang pasti dari keadaan tersebut. Selain dari kendaraan bermotor, sektor industri menjadi salah satu penyumbang hal buruk tersebut dapat terjadi.
Cluster-cluster industri memang menjadi primadona bagi perputaran roda ekonomi untuk memberikan harapan serta kesempatan kerja, di mana ceruk pundi uang mengalir deras seirama dengan perputaran roda mesin pabrik. Namun, efek samping industri, adalah alarm menyakitkan bagi kesehatan penghuninya.
Pengurangan dampak tersebut adalah hal bijak dari penghentian ancaman terburuk bagi Bumi yang dipijak. Cluster industri wajib bersahabat dengan lingkungan, guna memberikan nafas baru untuk kehidupan, dari segi ekonomi serta kesehatan.
Mewujudkan industrial yang hijau (Green Industrial Cluster) bukanlah fantasi yang sukar dicapai, hanya perlu keadilan bagi manusia serta lingkungan maka hal tersebut dapat tercapai.
Kementerian Industri mencatat, penciptaan Green Industrial Cluster telah menghemat energi sebesar Rp3,2 triliun, dan penghematan air sebesar Rp169 miliar di Indonesia, bayangkan jika seluruh dunia selaras, akan ada penghematan skala besar untuk dapat dialihkan penanganan skala prioritas.
Dunia harus me-respons alarm peringatan dari perubahan iklim, sebab selama 10 tahun terakhir, konsumsi energi tumbuh pesat sebesar 47 persen. Menurut perkiraan terbaru, pengurangan CO2 atau karbondioksida rata-rata tahunan perlu ditingkatkan setidaknya lima kali lipat dari saat ini, untuk mencapai target Perjanjian Paris.
Salah satu pilar penting dari dekarbonisasi atau pengurangan CO2 adalah efisiensi energi dan sirkularitas, dengan menggunakan teknologi yang sedang berkembang seperti modernisasi alat dan komponen hemat energi, serta adopsi sistem flaring recovery, atau sistem pemulihan pembakaran.
Peran Indonesia
Perubahan iklim serta kualitas udara adalah tanggung jawab manusia di berbagai belahan dunia. Tak terkecuali, adalah Indonesia yang berperan sebagai salah satu paru-paru dunia, melihat peringatan perubahan iklim begitu nyata perlu dibentuk diskusi khusus dalam pertemuan konferensi tingkat tinggi antara negara, dalam konsep G20.
Momentum G20 di Bali, adalah peran sentral Indonesia untuk menjadi jembatan bagi negara yang siap menuju transisi energi terbarukan. Mengembalikan nafas dunia adalah misi utama dari pembahasan transisi energi dalam misi utama forum diskusi transisi energi.
Task Force ESC-B20 berhasil melahirkan Green Industrial Cluster pertama di Asia Tenggara berkolaborasi dengan Jababeka. Perhatian terhadap dekarbonisasi di industri, memberikan petanda bahwa industri hijau harus segera diwujudkan dalam rangka peralihan industri berkelanjutan.
Direktur Utama PT Pertamina, Nicke Widyawati, yang juga berperan sebagai Chair TF ESC-B20 menjelaskan tiga rekomendasi final dari TF ESC-B20 yang dimaksud yakni pertama, mempercepat transisi ke penggunaan energi berkelanjutan dengan mengurangi intensitas karbon dari penggunaan energi. Kedua, memastikan transisi yang berkeadilan dan terjangkau dan ketiga, meningkatkan akses serta kemampuan konsumen untuk mengonsumsi energi bersih juga modern. Nicke menjelaskan poin utamanya adalah Indonesia mendukung dekarbonisasi industri akan mempercepat emisi nol bersih yang ditargetkan tahun 2060 atau lebih cepat.
Green Industrial Cluster adalah wujud dari rekomendasi pertama mengenai transisi penggunaan energi berkelanjutan, dengan mengusung konsep Klaster Industri Net Zero. Pandemi COVID-19 sempat menghentikan sejenak kegiatan industrial, tidak disangka hal tersebut mampu menekan penurunan emisi karbon sebesar 6 persen pada tahun 2020, meskipun hal tersebut masih jauh dari target penurunan karbon.
Persoalan emisi karbon di sektor industri, banyak terdampak dari energi listrik yang dibutuhkan. Kebutuhan listrik sektor industri di Indonesia masih didominasi oleh batu bara, di mana dampak dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) adalah pencemaran udara oleh hasil pembakaran pemanasan uap.
Panas uap di PLTU dihasilkan dari proses pembakaran batu bara, asap yang muncul adalah hal buruk bagi kualitas udara. Oleh karena itu, komitmen Indonesia adalah meningkatkan target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) menjadi 31,89 persen dengan upaya sendiri, dan 43,20 persen dengan bantuan internasional, melalui dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (NDC).
Penggunaan energi merupakan penyumbang terbesar persediaan Gas Rumah Kaca global, sekitar 73 persen. Selain itu, penggunaan energi di industri adalah yang tertinggi dibandingkan dengan penggunaan untuk bangunan dan transportasi.
Dengan adanya dampak global dari sektor industri, maka langkah nyata yang dapat dicapai adalah membuat konsep Klaster Industri Net Zero. Pabrik-pabrik industri terkemuka di Kawasan Industri Jababeka di Cikarang-Indonesia terdiri dari Hitachi, Unilever, dan L'Oréal, berkolaborasi untuk menciptakan klaster net zero pertama di Asia Tenggara.
Bukan hanya hasil pemikiran diskusi saja, namun kelompok pabrik Jababeka tersebut menandatangani pernyataan bersama dan mengumumkan rencananya untuk menjadi klaster industri net zero pertama di Kawasan Industri Jababeka di Indonesia Net Zero Summit 2022, side event B20 Indonesia 2022.
Managing Director Jababeka Infrastruktur, Agung Wicaksono, mengatakan klaster industri net zero Jababeka akan dibangun di atas dasar yang telah direncakan sebagai kawasan industri selama lebih dari 30 tahun dengan perusahaan dari 30 negara untuk bertransformasi di masa depan, menggunakan teknologi dan digital dalam operasionalnya.
Kawasan Industri Jababeka adalah kompleks industri untuk manufaktur dan operasi lainnya dari lebih dari 2.000 perusahaan dari 30 negara, termasuk perusahaan internasional terkemuka dan lokal. Klaster industri baru ini membawa pendekatan multi-pemangku kepentingan yang terkoordinasi untuk mencapai dekarbonisasi industri.
Apabila pioner klaster tersebut berhasil, maka akan dapat diikuti oleh kawasan lainnya yang mana dapat memberikan efisiensi ekonomi serta detak baru dari industri hijau ramah lingkungan. Tantangan tentu akan menjadi tembok hadangan bagi seluruh anggota G20, namun untuk itulah pertemuan diadakan sehingga solusi yang menghadang akan terwujud dari hasil pemikiran para pemimpin negara serta pemangku kepentingan.
Tantangan yang menanti salah satunya tentu saja adalah pendanaan, sebab untuk memaksimalkan kinerja pabrik dengan minim karbon emisi membutuhkan teknologi yang modern tidak murah. Momentum G20 adalah kesempatan jembatan antara konsep, idealis, prinsip ekonomi serta investor yang siap menyuguhkan ekonomi hijau yang lebih baik.
Mendukung pengembangan klaster industri hijau, juga akan menarik lebih banyak investasi asing yang akan datang sehingga bisa mendorong pertumbuhan ekonomi nasional serta menciptakan lapangan kerja.